Pengikut

Kamis, 02 Desember 2010

HAKIKAT CINTA

Manusia dalam dirinya dianugerahi rasa cinta. Cinta inilah yang memberikan manusia daya hidup dan perjuangan. Dengan cinta manusia membangun keharmonisan hidup bersama manusia lainnya. Dengan cinta manusia membina hubungan  rumah tangga. Bisa dibayangkan membangun keluarga tanpa cinta, maka yang timbul adalah kegundahan dan kegelisahan. Dengan cinta pula anusia mengabdi kepada Tuhannya.

Manusia yang hidup tanpa memiliki rasa cinta, maka hidupnya dipenuhi benci  dan dendam. Manusia tanpa rasa cinta, maka yang muncul adalah keegoan.  Dengan cinta, manusia dapat melangsungkan  hidup dengan kegembiraan dan kepuasan. Cinta lah yang memberikan energi pada manusia untuk melaksanakan tujuan hidupnya. Cinta pula yang memberikan gairah dan semangat hidup pada manusia.
Namun dengan cinta pula manusia dapat terjerumus dalam lembah kenistaan, yaitu ketika manusia cinta dunia dan  kekuasaan. Cinta dunia inilah  yang membawa manusia pada titik nadir kemanusiaan, manusia kehilangan spiritualitas karena cinta pada materi. Manusia kehilangan ruh kemanusiaannya menjadi seperti hewan, karena manusia  telah teramat cinta pada kebutuhan jasmani semata, maka manusia seperti ini bagai binatang. Ia hanya mengumbar syahwat jasmani saja, inilah yang terdapat pada hewan. Cinta pada kekuasaan membawa manusia pada tirani bagi manusia lain. Tidak tertebar lagi rasa cinta lagi pada manusia, yang ada adalah nafsu berkuasa.  

            Sesungguhnya cinta manusia dapat dibagi menjadi dua: “cinta sejati” (‘isyq haqiqi), atau cinta pada Tuhan; dan “cinta imitasi” (‘isyq majazi), atau cinta terhadap segala lain-Nya. Tapi, dalam pengujian yang lebih dekat, orang melihat semua cinta sesungguhnya adalah cinta pada Tuhan, karena segala sesuatu adalah pantulan dan bayang-bayang-Nya. Sedangkan adanya perbedaan antara dua jenis cinta tersebut dikarenakan orang memahami yang ada hanyalah Tuhan dan cinta untuk-Nya semata. Sedangkan cinta pada yang lainnya, karena  meyakini adanya keterlepasan eksistensi dari-Nya atas segala objek keinginan yang dicintai,  dan tidak mengarahkan pada hubungan cinta terhadap-Nya.

            Padahal cinta kepada yang selain-Nya tapi berasal dari-Nya, akan membawa orang kepada-Nya. Setiap objek keinginan dari orang perorang akan menunjukkan kepalsuannya, dan orang akan mengalihkan cintanya. Namun, bagaimanapun juga setiap hasrat (cinta) tidak akan menemukan Kekasih Sejati kecuali setelah kematian, manakala ia sudah terlambat untuk menutup jurang keterpisahan. Pada saat itu, sesal kemudian tidak berguna, karena dalam hidupnya, manusia seperti ini telah memberikan  cintanya pada selain Tuhan.  Bagi seorang Sufi, hanya ada satu Yang Tercinta; dia melihat bahwa semua cinta “palsu” beku dan tidak nyata selain kepada Tuhan.

            Dalam konteks ini, Rûmî menerangkan hakikat keindahan cinta sejati secara ringkas dan jelas: Keindahan adalah setetes air yang berasal dari Lautan yang tak berwatas, atau sebuah cahaya yang memantul pada dinding. Semua keindahan berasal dari dunia lain, yang ada di sini hanyalah kesementaraan dan pinjaman. Keindahan yang sesungguhnya hanya ada pada Tuhan.

Seperti juga yang diungkapan Rûmî : 

            Keindahan uang palsu itu adalah sesuatu yang terpinjam, di balik kecantikannya tersimpan kepalsuannya.
Dari perkataan Rûmî bahwa cinta pada kecantikan dunia merupakan cinta palsu. Cinta seperti ini hanya menghasilkan tujuan semu bagi manusia. Jika manusia mengejar dunia, manusia seperti mengejar fatamorgana, yang jika dikejar maka ia tidak akan pernah terpegang. Karena akan menghilang begitu kita sampai di dekatnya. Begitu juga dengan cinta manusia pada dunia, manusia tidak akan pernah puas untuk terus memperbanyak harta dunia.

            Sebuah syair yang diungkapkan oleh Rûmî yang  menggambarkan tentang cinta dunia berbunyi:

            Manusia merasakan cinta, derita, rasa sakit, dan segala hasrat yang seandainya sekalipun seratus dunia telah menjadi miliknya, ia tetap terus mencari, tidak pernah istirah atau menenukan ketenangan. Orang-orang seperti ini menyibukkan diri sepenuhnya dengan segala kemampuan, keahlian, dan kedudukan; mereka mempelajari astronomi, obat-obatan, dan lain sebagainya, tapi mereka tidak pernah memperoleh rasa tenteram, sebab tujuan mereka belum tercapai. Adapun Yang Tercinta, bagaimanapun juga, adalah “ketenteraman hati,” karena hati mencapai tujuan melalui-Nya. Maka, bagaimana mungkin ia menemukan ketenteraman dan kedamaian melalui yang lain ?

Inilah keindahan yang menimbulkan cinta palsu adalah dunia ini. Pada kecantikannya terdapat kepalsuannya. Jadi jika manusia ingin mendapatkan cinta sejati ialah cinta pada Tuhan, yang telah memberikan cinta dan keindahan itu. Manusia tidak terpesona oleh keindahan pantulan-Nya yaitu keindahan dunia ini. Dalam sebuah syairnya Rûmî juga berujar :

            Cinta adalah Sifat Tuhan, yang tidak membutuhkan apapun, cinta pada selain-Nya adalah palsu.

Tuhan adalah mata air cinta, sebagaimana Dia adalah sumber segala yang ada. Tapi apa makna “Tuhan adalah Cinta “? Kenyataan bahwa begitu banyak ayat al-Quran menyatakan Cinta adalah Sifat Tuhan. Karenanya, sering disebut-sebut dalam Kitab Suci itu, Tuhan “mencintai” sesuatu. Para Sufi biasa mengutip ayat berikut ini, yang berbicara tentang hubungan hirarkis  antara Cinta Tuhan kepada manusia kepada-Nya, yang terakhir bermuara  dari yang pertama:

“Tuhan akan mendatangkan suatu kaum yang Dia mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang Mukmin, dan keras terhadap orang-orang kafir , yang berjihad di jalan-Nya dan tidak risau oleh celaan orang-orang yang suka mencela” (QS. al-Maidah:54)

            Kecintaan manusia pada Tuhannya merupakan cinta sejati. Sedangkan kecintaan manusia pada dunia merupakan cinta imitasi. Jika manusia lebih mencintai dunia, maka ia sebenarnya telah mendekatkan dirinya pada jurang kehancuran. Manusia telah membuang percuma waktu di dunia untuk mencinta yang palsu dan tidak hakiki. 

            Menurut Husain Mazhahiri ada lima ciri orang cinta pada dunia. Pertama, keadaan mewah. Hal ini menunjukkan tenggelamnya seseorang dalam kecintaan kepada dunia. Keadaan ini jika sampai menguasai manusia, maka ia akan mendorongnya untuk bersikap lalim dan angkuh, dan kemudian manusia itu akan mendapatkan kecelakaan dan kehancuran. Keadaan mewah menyebabkan yang bersangkutan tenggelam dalam syahwat dan kenikmatan-kenikmatan duniawi, yang pada akhirnya mengiringnya menuju sikap lalim dan mendustakan para Nabi. Allah berfirman: “Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup.” (QS. al-‘Alaq:6). 

            Ciri kedua ialah sikap berlebih-lebihan dan mubazir. Mereka yang berlebih-lebihan dan bergaya hidup mewah, ialah orang-orang yang tenggelam dalam kecintaan kepada dunia. Al-Quran al-Karim mencela mereka dengan keras dan menyifati mereka sebagai saudara-saudara setan. “Sesungguhnya orang-orang yang mengerjakan hal-hal yang berlebihan (mubazir), mereka adalah saudara-saudara setan.” (QS.al-Isra:27)

            Sedangkan yang ketiga adalah ketergantuingan hati kepada hal-hal duniawi yang bersifat mubah. Yakni manusia tergantung kepada harta, makan, kenyamanan, seks, dan sebagainya. Salah satu contoh ketergantungan kepada dunia ialah merokok.  Merokok berbahaya bagi kesehatan badan begitu juga bagi kesehatan ruhani dan keselamatan masyarakat. Dengan melepaskan ketergantungan dari hal-hal duniawi yang bersifat mubah, maka ia telah menjadi orang yang mampu mengendalikan dirinya. Pengendalian diri merupakan penyangga dari keterpelesetan pada dosa.

            Dengan mengendalikan diri dari kecintaan terhadap dunia akan membawa manusia pada nilai-nilai kecintaan sejati. Sebuah cinta sejati pada Tuhan. Sedangkan kecintaan manusia pada dunia ini merupakan cinta palsu, cinta yang tidak abadi. Jika manusia sepanjang hidupnya hanya memikirkan kecintaan pada dunia sesungguhnya hidup manusia adalah sia-sia belaka. Karena apa yang dikejarnya merupakan fatamorgana.

            Manusia yang ingin mendapat keindahan cinta, kebahagian hakiki, dan keselamatan abadi. Maka manusia harus memberikan cintanya pada yang Maha Indah, Maha Hakiki dan Maha Abadi yaitu Allah. Dengan kecintaan pada Tuhan ini manusia akan mendapatkan kebahagiaan dan keselamatan hidup yang hakiki, karena manusia telah mencintai yang memang patut dicintai.

Rabu, 01 Desember 2010

Merajut sebuah ilmu dan menjadikannya sehelai kain yang didalamnya penuh akan keindahan corak dan warna, inilah yang diidamkan seluruh ahli sufi. Rajutan demi rajutan tentang segala pemahaman ilmu, penghayatan dan keluasan tentang segala kebesaran Alloh, perjalanan dan pengorbanan yang selalu dilakoninnya sedari kecil, membuat segala macam ilmu yang ada padanya, menjadikannya derajat seorang waliyulloh kamil.

Dalam pandangan para waliyulloh, dimana badan telah tersirat asma’ Alloh dan segala tetesan darahnya telah mengalir kalimat tauhid, dimana setiap detak jantung selalu menyerukan keagunganNya dan setiap pandangan matanya mengandung makna tafakkur, tiada lain orang itu adalah seorang waliyulloh agung yang mana jasad dan ruhaniyahnya telah menyatu dengan dzat Alloh. Inilah sanjungan yang dilontarkan oleh seluruh bangsa wali kala itu pada sosok, kanjeng Syeikh Siti Jenar.Rohmat yang tersiram didalam tubuhnya, ilmu yang tersirat disetiap desiran nafasnya, pengetahuan tentang segala makna ketauhidan yang bersemayam didalam akal dan hatinya, membuat kanjeng Syeikh Siti Jenar menjadi seorang guru para wali.

Lewat kezuhudan yang beliau miliki serta keluasan ilmu yang dia terapkan, membuat segala pengetahuannya selalu dijadikan contoh. Beliau benar benar seorang guru agung dalam mengembangkan sebuah dhaukiyah kewaliyan/tentang segala pemahaman ilmu kewaliyan. Tak heran bila kala itu banyak bermunculan para waliyulloh lewat ajaran ilafi yang dimilikinya.

Diantara beberapa nama santri beliau yang hingga akhir hayatnya telah sampai kepuncak derajat waliyulloh kamil, salah satunya, sunan Kali Jaga, raden Fatah, kibuyut Trusmi, kigede Plumbon, kigede Arjawinangun, pangeran Arya Kemuning, kiageng Demak Purwa Sari, ratu Ilir Pangabean, gusti agung Arya diningrat Caruban, Pangeran Paksi Antas Angin, sunan Muria, tubagus sulthan Hasanuddin, kiAgeng Bimantoro Jati, kiSubang Arya palantungan dan kigede Tegal gubug.

Seiring perjalanannya sebagai guru para wali, syeikh Siti Jenar mulai menyudahi segala aktifitas mengajarnya tatkala, Syarief Hidayatulloh/ sunan Gunung Jati, telah tiba dikota Cirebon. Bahkan dalam hal ini bukan hanya beliau yang menyudahi aktifitas mengajar pada saat itu, dedengkot wali Jawa, sunan Ampel dan sunan Giri juga mengakhirinya pula.

Mereka semua ta’dzim watahriman/ menghormati derajat yang lebih diagungkan, atas datangnya seorang Quthbul muthlak/ raja wali sedunia pada zaman tersebut, yaitu dengan adanya Syarief Hidayatulloh, yang sudah menetap dibumi tanah Jawa.

Sejak saat itu pula semua wali sejawa dwipa, mulai berbondong ngalaf ilmu datang kekota Cirebon, mereka jauh jauh sudah sangat mendambakan kedatangan, Syarief Hidayatulloh, yang ditunjuk langsung oleh, rosululloh SAW, menjadi sulthan semua mahluk ( Quthbul muthlak )

Nah, sebelum di kupas tuntas tentang jati diri, syeikh Siti Jenar, tentunya kita agak merasa bingung tentang jati diri, Syarief Hidayatulloh, yang barusan dibedarkan tadi. "Mengapa Syarief Hidayatulloh kala itu sangat disanjung oleh seluruh bangsa wali ?".

Dalam tarap kewaliyan, semua para waliyulloh, tanpa terkecuali mereka semua sudah sangat memahami akan segala tingkatan yang ada pada dirinya. Dan dalam tingkatan ini tidak satupun dari mereka yang tidak tahu, akan segala derajat yang dimiliki oleh wali lainnya. Semua ini karena Alloh SWT, jauh jauh telah memberi hawatief pada setiap diri para waliyulloh, tentang segala hal yang menyangkut derajat kewaliyan seseorang.

Nah, sebagai pemahaman yang lebih jelas, dimana Alloh SWT, menunjuk seseorang menjadikannya derajat waliyulloh, maka pada waktu yang bersamaan, nabiyulloh, Hidir AS, yang diutus langsung oleh malaikat, Jibril AS, akan mengabarkannya kepada seluruh para waliyulloh lainnya tentang pengangkatan wali yang barusan ditunjuk tadi sekaligus dengan derajat yang diembannya.

Disini akan dituliskan tingkatan derajat kewaliyan seseorang, dimulai dari tingkat yang paling atas. "Quthbul muthlak- Athman- Arba’ul ‘Amadu- Autad- Nukoba’ – Nujaba’ – Abdal- dan seterusnya". Nah dari pembedaran ini wajar bila saat itu seluruh wali Jawa berbondong datang ngalaf ilmu ketanah Cirebon, karena tak lain didaerah tersebut telah bersemayam seorang derajat, Quthbul muthlak, yang sangat dimulyakan akan derajat dan pemahaman ilmunya.

Kembali kecerita syeikh Siti Jenar, sejak adanya, Syarief Hidayatulloh, yang telah memegang penting dalam peranan kewaliyan, hampir seluruh wali kala itu belajar arti ma’rifat kepadanya, diantara salah satunya adalah, syeikh Siti Jenar sendiri.

Empat tahun para wali ikut bersamanya dalam “Husnul ilmi Al kamil"/ menyempurnakan segala pemahaman ilmu, dan setelah itu, Syarief Hidayulloh, menyarankan pada seluruh para wali untuk kembali ketempat asalnya masing masing. Mereka diwajibkan untuk membuka kembali pengajian secara umum sebagai syiar islam secara menyeluruh.

Tentunya empat tahun bukan waktu yang sedikit bagi para wali kala itu, mereka telah menemukan jati diri ilmu yang sesungguhnya lewat keluasan yang diajarkan oleh seorang derajat, Quthbul mutlak. Sehingga dengan kematangan yang mereka peroleh, tidak semua dari mereka membuka kembali pesanggrahannya.

Banyak diantara mereka yang setelah mendapat pelajaran dari, Syarief Hidayatulloh, segala kecintaan ilmunya lebih diarahkan kesifat, Hubbulloh/ hanya cinta dan ingat kepada Alloh semata. Hal seperti ini terjadi dibeberapa pribadi para wali kala itu, diantaranya; syeikh Siti Jenar, sunan Kali Jaga, sulthan Hasanuddin Banten, pangeran Panjunan, pangeran Kejaksan dan Syeikh Magelung Sakti.

Mereka lebih memilih hidup menyendiri dalam kecintaannya terhadap Dzat Alloh SWT, sehingga dengan cara yang mereka lakukan menjadikan hatinya tertutup untuk manusia lain. Keyakinannya yang telah mencapai roh mahfud, membuat tingkah lahiriyah mereka tidak stabil. Mereka bagai orang gila yang tidak pernah punya rasa malu terhadap orang lain yang melihatnya.

Seperti halnya, syeikh Siti Jenar, beliau banyak menunjukkan sifat khoarik/ kesaktian ilmunya yang dipertontonkan didepan kalayak masyarakat umum. Sedangkan sunan Kali Jaga sendiri setiap harinya selalu menaiki kuda lumping, yang terbuat dari bahan anyaman bambu. Sulthan Hasanuddin, lebih banyak mengeluarkan fatwa dan selalu menasehati pada binatang yang dia temui.

Pangeran Panjunan dan pangeran Kejaksaan, kakak beradik ini setiap harinya selalu membawa rebana yang terus dibunyikan sambil tak henti hentinya menyanyikan berbagai lagu cinta untuk tuannya Alloh SWT, dan syeikh Magelung Sakti, lebih dominan hari harinya selalu dimanfaatkan untuk bermain dengan anak anak.

Lewat perjalanan mereka para hubbulloh/ zadabiyah/ ingatannya hanya kepada, Alloh SWT, semata. Tiga tahun kemudian mereka telah bisa mengendalikan sifat kecintaannya dari sifat bangsa dzat Alloh, kembali kesifat asal, yaitu syariat dhohir.

Namun diantara mereka yang kedapatan sifat dzat Alloh ini hanya syeikh Siti Jenar, yang tidak mau meninggalkan kecintaanya untuk tuannya semata ( Alloh ) Beliau lebih memilih melestarikan kecintaannya yang tak bisa terbendung, sehingga dengan tidak terkontrol fisik lahiriyahnya beliau banyak dimanfaatkan kalangan umum yang sama sekali tidak mengerti akan ilmu kewaliyan.

Sebagai seorang waliyulloh yang sedang menapaki derajat fana’, segala ucapan apapun yang dilontarkan oleh syeikh Siti Jenar kala itu akan menjadi nyata, dan semua ini selalu dimanfaatkan oleh orang orang culas yang menginginkan ilmu kesaktiannya tanpa harus terlebih dahulu puasa dan ritual yang memberatkan dirinya.

Dengan dasar ini, orang orang yang memanfaatkan dirinya semakin bertambah banyak dan pada akhirnya mereka membuat sebuah perkumpulan untuk melawan para waliyulloh. Dari kisah ini pula, syeikh Siti Jenar, berkali kali dipanggil dalam sidang kewalian untuk cepat cepat merubah sifatnya yang banyak dimanfaatkan orang orang yang tidak bertanggung jawab, namun beliau tetap dalam pendiriannya untuk selalu memegang sifat dzat Alloh.

Bahkan dalam pandangan, syeikh Siti Jenar sendiri mengenai perihal orang orang yang memenfaatkan dirinya, beliau mengungkapkannya dalam sidang terhormat para waliyulloh; “Bagaiman diriku bisa marah maupun menolak apa yang diinginkan oleh orang yang memanfaatkanku, mereka semua adalah mahluk Alloh, yang mana setiap apa yang dikehendaki oleh mereka terhadap diriku, semua adalah ketentuanNya juga" lanjutnya.

“Diriku hanya sebagai pelantara belaka dan segala yang mengabulkan tak lain dan tak bukan hanya dialah Alloh semata . Karena sesungguhnya adanya diriku adanya dia dan tidak adanya diriku tidak adanya dia. Alloh adalah diriku dan diriku adalah Alloh, dimana diriku memberi ketentuan disitu pula Alloh akan mengabulkannya. Jadi janganlah salah paham akan ilmu Alloh sesungguhnya, karena pada kesempatannya nanti semua akan kembali lagi kepadaNya."

Dari pembedaran tadi sebenarnya semua para waliyulloh, mengerti betul akan makna yang terkandung dari seorang yang sedang jatuh cinta kepada tuhannya, dan semua waliyulloh yang ada dalam persidangan kala itu tidak menyalahkan apa barusan yang diucapkan oleh, syeikh Siti Jenar.

Hanya saja permasalahannya kala itu, seluruh para wali sedang menapaki pemahaman ilmu bersifat syar’i sebagai bahan dasar dari misi syiar islam untuk disampaikan kepada seluruh masyarakat luas yang memang belum mempunyai keyakinan yang sangat kuat dalam memasuki pencerahan arti islam itu sendiri. Wal hasil, semua para wali pada saat itu merasa takut akan pemahaman dari syeikh siti jenar, yang sepantasnya pemahaman beliau ini hanya boleh didengar oleh oleh orang yang sederajat dengannya, sebab bagaimanapun juga orang awam tidak akan bisa mengejar segala pemahaman yang dilontarkan oleh syeikh Siti Jenar.

Sedangkan pada saat itu, syeikh Siti Jenar yang sedang kedatangan sifat zadabiyah, beliau tidak bisa mengerem ucapannya yang bersifat ketauhidan, sehingga dengan cara yang dilakukannya ini membawa dampak kurang baik bagi masyarakt luas kala itu. Nah, untuk menanggulangi sifat syeikh Siti Jenar ini seluruh para wali akhirnya memohon petunjuk kepada Alloh SWT, tentang suatu penyelesaian atas dirinya, dan hampir semua para wali ini mendapat hawatif yang sama, yaitu :

"Tiada jalan yang lebih baik bagi orang yang darahnya telah menyatu dengan tuhannya, kecuali dia harus cepat cepat dipertemukan dengan kekasihnya". Dari hasil hawatif para waliyulloh, akhirnya syeikh Siti Jenar dipertemukan dengan kekasihnya Alloh SWT, lewat eksekusi pancung. Dan cara ini bagi syeikh Siti Jenar sendiri sangat diidamkannya. Karena baginya, mati adalah kebahagiaan yang membawanya kesebuah kenikmatan untuk selama lamnya dalam naungan jannatun na’im.

Ajaran Ma’rifat Syekh Siti Jenar

Syekh Siti Jenar merupakan nama yang menyimpan sejuta misteri. Hingga kini teka teki tersebut belum pernah terjawab. Apakah Syekh Siti Jenar itu memang benar benar ada sebagai Wali Ma’rifat atau hanya sekedar pitutur luhur simbol-simbol ajaran kearifan masyarakat Jawa. Namun dalam ringkasan ini kami tidak mengkaji sisi historisnya tetapi kami mengkritisi ajarannya yang tersirat dalam sastra Jawa yang disugukan pada acara MOCOPAT

Widhatul Wujud / Manunggaling Kawulo Gusti

Apabila diakui bahwa Syekh Siti Jenar itu seorang wali ma’rifat, maka ajaran Ma’rifat yang dikembangkanya bukanlah suatu ajaran baru danbanyak dipengaruhi toko Sufi sebelumnya yang berasal dari dataran Arab yaitu Mansyur Al Hallaj. teori dari mansyur al Hallaj yang terkenal Al Hulull ( Tuhan mengambil tempat pada diri manusia ), kalau pada teori Siti Jenar adalah Widhatul Wujud , ( pada saat tertentu manusia bisa menyatu dengan Tuhannya ) , jadi kalau dilihat dari kedua teori tersebut sepertinya ada kesamaan bahwa pada saat saat tertentu manusia seolah olah merasakan dapat bersatu dengan Tuhannya .
Sesungguhnya konsep tesebut tidak dikenal dalam ajaran Islam , konsep tersebut hanyala pengaruh dari tradisi pemikiran yang ada , namun para sufi berkayakinan bahwa kita bisa memperoleh pengetahuan bukan hanya dari panca indra seperti yang ditempuh oleh para Filsuf dan Teolog . melaikan dengan hati nurani.

Konsep Kematian Syekh Siti Jenar

Menurut pandangan yang diyakini bahwa dunia ini alam kematian, setelah jasad ditinggal nyawa itulah awal kehidupan yang sebenarnya. Amat megherankan jika manusia berfikir siang dan malam dalam alam kematian itu mengharap permulaan hidup, sesungguhnya manusia hidup di dunia ini banyak mengalami neraka kesengsaraan, kepanasan, kedinginan , serta kesedihan tidak demikian apabila manusia hidup sesudah mati manusia akan hidup mulia mandiri tidak memerlukan media ayah ibu ia berbuat menurut keinginannya sendiri tiada berasal dari angina , air ,tanah , api atau semua yang serba jasad. Ia tidak menginginkan atau dikenai kerusakan apapun , karena itu apa yang disebut dengan Allah ( nama ) ialah barang baru yang direka reka menurut pikiran manusia

SYEKH SITI JENAR

  

SYEKH SITI JENAR

NAMANYA MELARISKAN BUKU

                          
Siapakah Syekh Siti Jenar? Meskipun setidaknya Intisari telah menjejaki – yang disebut sebagai – dua kuburan Syekh Siti Jenar, masing-masing di Kemlaten, Cirebon maupun Gedong Ombo, Tuban, agaknya Syekh Siti Jenar tidak bisa dipastikan keberadaan historisnya secara ilmiah dalam kategori positivistik. Keberadaan Syekh Siti Jenar adalah keberadaan sebuah makna, baik dalam bentuk suatu ajaran yang tercatat pada berbagai naskah, maupun makna keberadaan dalam penafsiran politis, sebagai tokoh oposisi terhadap hegemoni kekuasaan rohani para wali. Suatu konstelasi yang sebetulnya juga merupakan tipologi konstelasi politik duniawi, ketika kerajaan-kerajaan Islam di Jawa telah menjadi dominan, tetapi pusat-pusat kekuasaan pra-Islam dengan segenap aliran kepercayaannya, belum sepenuhnya terleburkan – bahkan sampai hari ini.
                                    
Wali yang mencemaskan
Dalam ziarah pustaka ini, gambaran Nancy K. Florida tentang Tiga Guru Jawa (Syekh Siti Jenar, Syekh Malang Sumirang, Ki Ageng Pengging) dalam disertasinya, Menyurat Yang Silam Menggurat Yang Menjelang (1995) akan dikutip sebagai pengantar:
“Di antara ketiga empu tersebut, Syekh Siti Jenarlah yang paling dikenal, dengan ketenarannya sebagai wali pembangkang yang paling utama di Jawa bahkan hingga saat ini. Berbagai versi kisahnya, baik lisan maupun tulisan, melimpah. Dialah tokoh yang mewakili penyebarluasan, dan yang disebarluaskannya adalah pengetahuan esoteris eksklusif yang keluar dari kalangan elite politik-spiritual ke dalam budaya khalayak ramai. Atas penyebarluasan inilah maka para wali merasa terpanggil untuk memusnahkan Syekh Siti Jenar. Mereka melihat ancaman politik yang benar-benar nyata dalam dirinya; lantaran sebagai sosok penyebarluasan dan populisme dia dengan sendirinya menentang pemusatan dan penyatuan kekuasaan.
“Dalam benak khalayak ramai, Siti Jenar dikenang sebagai patron wong cilik. Garis besar kisah hidupnya menggarisbawahi keterkaitan organisnya dengan lapis terendah masyarakat. Dalam versi kisahnya yang paling tersebar luas, Siti Jenar diceritakan sebagai seekor cacing tanah yang secara ajaib berubah menjadi manusia. Pengubahan ini terjadi karena sang cacing secara kebetulan menerima pengetahuan esoteris yang mengantarnya menuju Hakikat Sejati. Sekali menjadi manusia, dia yang semula cacing ini kemudian berani untuk membuka tabir Pengetahuan Makrifat ini kepada khalayak ramai. Barangkali anggapan bahwa penyampaian pengetahuan semacam itu akan dapat mengubah martabat “cacing-cacing” yang lain adalah kecemasan elite spiritual-politik di ibu negeri Demak.
“Selain dosanya ‘menyingkap sang Rahasia’ kepada khalayak ramai, Siti Jenar juga dipersalahkan karena menyepelekan syariat, hukum suci Islam. Dan di dalam banyak penuturan kisahnya, dia dituduh sebagai orang yang mengaku dirinya Allah. Bagaimanapun juga, yang paling mencuat dan diberitakan adalah dosanya menyebarluaskan Ilmu Gaib; dan lantaran dosa inilah sang wali diadili dan dijatuhi hukuman mati. Terdapat berbagai versi tentang ‘pengadilan’ dan eksekusinya. Masing-masing versi perlu untuk dipahami dengan latar belakang ingatan kolektif masyarakat tentang kisahnya dan dalam bandingan dengan versi lainnya. Yang terpenting untuk diperhatikan adalah keragaman kisah atas apa yang terjadi dengan jasad sang wali; berkisar dari ekstrem yang satu bahwa jasadnya berubah menjadi bangkai busuk seekor anjing hingga ke ekstrem yang lain (yakni pada versi Babad Jaka Tingkir) bahwa sang wali akhirnya mikraj ke surga.”
Adapun asal nama Kemlaten, kuburan Syekh Siti Jenar di Cirebon, terasalkan dari kisah dalam Babad Cerbon, bahwa ketika para wali membongkar kuburan Siti Jenar setelah dihukum mati, untuk membuktikan kebenaran ajarannya: bahwa jika ia mati di dunia ini artinya hidup abadi di dunia yang sebenarnya -ternyata memang tak menemukan jasad, melainkan sekuntum bunga melati. Seperti juga telah sering ditemukan dalam riwayat wali yang sembilan, istilah “politik dongeng” menegaskan terdapatnya kepentingan ideologis di balik segenap “sejarah” tersebut. Kesadaran tentang perlu diabaikannya keberadaan dongeng-dongeng tersebut sebagai fakta historis, juga tersurat dalam catatan sejarawan Graaf dan Pigeaud dalam Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram (1974), seperti ketika memberi catatan atas keberadaan Dewan Walisanga:
“Sudah jelas bahwa Musyawarat orang-orang suci menurut cerita legenda ini, yang dihadiri oleh mereka semua, sukar kiranya dapat sungguh-sungguh terjadi. Dugaan ini wajar, karena antara kedua tokoh historis Sunan Ngampel Denta dan Sunan Kudus terdapat jarak waktu beberapa generasi (dari pertengahan abad ke-15 sampai dekade-dekade pertama abad ke-16).”
                                   
Ajaran tentang ada
Lantas, ajaran macam apa sebetulnya, yang dianggap “benar tapi berbahaya”, sehingga penyebarnya begitu patut menerima hukuman mati dalam pandangan Walisanga? Dalam kenyataannya, buku-buku yang memuat dan menyebarkan teks yang disebut sebagai “ajaran” Syekh Siti Jenar ini beredar luas pada masa kini, beberapa di antaranya bahkan berpredikat best seller alias laris manis tanjung kimpul, yang bukan hanya tidak mengundang kecaman apa pun dari para pemeluk teguh syariat, melainkan justru ditulis oleh para ahli agama itu sendiri. Untuk menyebut beberapa, bisa diperiksa dua buku laris Abdul Munir Mulkhan, Syekh Siti Jenar: Pergumulan Islam-Jawa (1999) dan Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar (2001), Muhammad Sholikhin, Sufisme Syekh Siti Jenar: Kajian Kitab Serat dan Suluk Siti Jenar (2004), Sudirman Tebba, Syaikh Siti Jenar: Pengaruh Tasawuf Al-Hallaj di Jawa (2003), dan yang ditulis dengan sapaan hangat serta indah karya Achmad Chodjim, Syekh Siti Jenar: Makna “Kematian” (2002). Namun untuk mengintip apa yang disebut “ajaran rahasia” tersebut, pustaka yang akan diziarahi masih dari karya ilmiah P.J. Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa (1935).
Tidak mungkin memindahkan ulasan panjang lebar dalam disertasi Zoetmulder tersebut, tapi kita mulai saja dengan petikan atas kutipan dari Serat Siti Jenar yang diterbitkan oleh Tan Khoen Swie, Kediri, pada 1922:
Kawula dan gusti sudah ada dalam diriku, siang dan malam tidak dapat memisahkan diriku dari mereka. Tetapi hanya saat ini nama kawula-gusti itu berlaku, yakni selama saya mati. Nanti, kalau saya sudah hidup lagi, gusti dan kawula lenyap, yang tinggal hanya hidupku, ketenteraman langgeng dalam Ada sendiri.
Hai Pangeran Bayat, bila kau belum menyadari kebenaran kata-kataku maka dengan tepat dapat dikatakan, bahwa kau masih terbenam dalam masa kematian. Di sini memang banyak hiburan aneka warna. Lebih banyak lagi hal-hal yang menimbulkan hawa nafsu. Tetapi kau tidak melihat, bahwa itu hanya akibat pancaindera.
Itu hanya impian yang sama sekali tidak mengandung kebenaran dan sebentar lagi akan lenyap. Gilalah orang yang terikat padanya, tidak seperti Syeh Siti Jenar. Saya tidak merasa tertarik, tak sudi tersesat dalam kerajaan kematian. Satu-satunya yang kuusahakan, ialah kembali kepada kehidupan.
Dalam disertasi filsafat ini Zoetmulder menekankan, bahwa dengan teks semacam ini Syekh Siti Jenar dan murid-muridnya telah ditafsirkan memberi kesan seolah-olah Tuhan itu tidak ada, padahal, “Menurut hemat kami ucapan-ucapan serupa hendaknya ditafsirkan sebagai sebuah polemik serta penolakan terhadap ide mengenai seorang Tuhan yang berpribadi; sebaliknya Siti Jenar mengetengahkan ide mengenai suatu Jiwa Semesta, ia manunggal dengan Hyang Suksma, manunggal dengan hidup yang tunggal, yakni dirinya sendiri.”

                                
Bukan Al-Hallaj, tapi India
Syekh Siti Jenar begitu sering dihubung-hubungkan dengan al-Husain ibnu Mansur al-Hallaj atau singkatnya Al-Hallaj sahaja, sufi Persia abad ke-10, yang sepintas lalu ajarannya mirip dengan Siti Jenar, karena ia memohon dibunuh agar tubuhnya tidak menjadi penghalang penyatuannya kembali dengan Tuhan. Adalah Al-Hallaj yang karena konsep satunya Tuhan dan dunia mengucapkan kalimat, “Akulah Kenyataan Tertinggi,” yang menjadi alasan bagi hukuman matinya pada 922 Masehi di Baghdad. Seperti Syekh Siti Jenar pula, nama Al-Hallaj menjadi monumen keberbedaan dalam penghayatan agama, sehingga bahkan diandaikan bahwa jika secara historis Syekh Siti Jenar tak ada, maka dongengnya adalah personifikasi saja dari ajaran Al-Hallaj, bagi yang mendukung maupun yang menindas ajaran tersebut. Tepatnya persona Syekh Siti Jenar memang dihidupkan untuk dimatikan.
Namun karena penelitiannya tentang segenap pengaruh terhadap sastra suluk Jawa, Zoetmulder berpendapat lain tentang ajaran Syekh Siti Jenar. “Jelaslah betapa besar pengaruh dari ide-ide India. Pengaruh itu tampak juga dari sikap terhadap nilai dan kenyataan dunia, yang dianggap hanya suatu permainan pancaindera, sebuah impian, segalanya hanya bersifat semu dan tak ada sesuatu yang nyata, suatu godaan, sebuah sulapan yang menimbulkan keinginan manusia dan dengan demikian mengurungnya. Singkatnya, di mana-mana kita mengenal kembali pandangan dari India.
“Akhirnya, juga kematian Siti Jenar – menurut logatnya sendiri, masuknya ke dalam kehidupan -seperti dilukiskan dalam versi yang kami bahas di sini, bernafaskan suasana India. Dengan menutup sendiri semua pintu dengan dunia luar ia membiarkan nafas kehidupan keluar dari badannya yang lalu mempersatukan diri dengan Sukma semesta. Dalam segala uraian ini hanya sedikit sekali pengaruh dari dunia Islam, sekalipun kadang-kadang disebut sebuah kutipan dalam bahasa Arab sekadar bahan pendukung. Sebaliknya menonjol sekali, betapa ajaran ini serasi dengan suatu bagian dari Arjunawiwaha yang melukiskan bagaimana Bhatara Indra dalam wujud seorang resi tua menyampaikan ajaran kesempurnaan kepada Arjuna yang sedang bertapa.
“Bila akhirnya tokoh Siti Jenar kita bandingkan dengan apa yang kita ketahui mengenai Al-Hallaj, maka tampak, bahwa keserasian hanya berkaitan dengan beberapa sifat dari kisah itu, tetapi kesamaan dalam hal ajaran jarang kita jumpai.”
Setelah menguraikan konsep ajaran Al-Hallaj yang dirujuknya dari peneliti sufisme terkenal Louis Massignon, hanya satu hal dianggap Zoetmulder agak mirip, yakni tentang permintaan maaf telah mengungkap rahasia ilahi (ifsa-al-asrar) – itu pun menurutnya Siti Jenar tidak minta maaf. Dijelaskannya, “Tidak mengherankan, bahwa dalam ajaran Siti Jenar tak terdapat bekas-bekas ajaran otentik Al-Hallaj.”
Ia pun merumuskan, “Perbedaan pokok antara kedua tokoh itu ialah Al-Hallaj selalu ditampilkan sebagai seorang sufi yang terbenam dalam cinta akan Tuhan, sedangkan dalam diri Siti Jenar sifat tadi hampir tidak tampak. Siti Jenar terutama dikisahkan sebagai seorang yang mandiri, akal bebas yang tidak menghiraukan raja maupun hukum agama; tak ada sesuatu pun yang menghalanginya menarik kesimpulan dari ajarannya. Dengan demikian ia menjadi wali yang paling digemari rakyat dan yang riwayatnya masih hidup di tengah-tengah orang Jawa.”
                                   
Lemah Abang serba pinggiran
Dengan konteks pengaruh India dan bukan Islam da lam ajaran Syekh Siti Jenar, menjadi jelas konteks duniawi yang terpadankan dengannya, seperti teruraikan oleh Graaf dan Pigeaud mengenai kedudukan politis Pengging sebagai kerajaan “kafir” terhadap kekuasaan Demak. Dalam legenda, Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging adalah murid Syekh Siti Jenar yang membangkang dan tidak bersedia tunduk maupun melawan Sultan Demak – yang membuat kedudukannya sulit diatasi meski Sunan Kudus ia izinkan untuk membunuhnya. “Tindakan Sunan Kudus yang sangat terkenal terhadap ‘si bid’ah’ Kebo Kenanga itu sesuai dengan ketegasan terhadap penghujah Allah Syekh Lemah Abang (atau Pangeran Siti Jenar) sendiri. Syekh itu adalah guru ilmu kebatinan empat bersaudara: Yang Dipertuan di Pengging, di Tingkir, di Ngerang, dan di Butuh.” Bahwa Pengging sebelumnya disebut-sebut sebagai kerajaan “kafir” yang masih berdiri setelah Majapahit runtuh, jelas menunjukkan personifikasi Syekh Siti Jenar sebagai representasi perlawanan, terhadap dominasi Demak sebagai representasi hegemoni kekuasaan rohani sekaligus duniawi.
Mungkinkah bisa dipahami sekarang, mengapa banyak wilayah di Jawa bernama Lemah Abang, dan selalu terletak di pinggiran?